Home besties about daftarisi tipsnulis petunjuk contact

Minggu, 29 Desember 2013

Dia Pergi

Aku duduk di halaman belakang sambil menatap bintang-bintang yang bercahaya. Bersedih. Aku masih tidak mengerti mengapa ini terjadi.
Dia pergi tepat ketika aku jatuh hati.

“Hei...,” seseorang menepuk bahuku. Aku tidak menoleh. Aku tahu dia siapa.

“Kenapa, Mei?” tanyaku pada saudaraku itu. Yang wajahnya mirip denganku, yang lahirnya beberapa menit sebelum aku, namun lebih bijak dari aku.

Mei diam sesaat. Dia duduk di atas tanah, di sebelahku. Lalu ikut melihat ke arah langit, sama sepertiku. “Kamu kenapa?” tanya Mei.

“Tidak apa. Aku biasa saja,” jawabku tanpa menoleh ke arah Mei. Hening sesaat.

“Kamu kenapa? Jangan bohong padaku. Aku tahu tentangmu lebih dari kamu mengetahui dirimu sendiri,” ujarnya sambil tertawa. Dia merangkulku sebentar. “Kalau kamu cerita, aku akan mendengarkan dan memberi tanggapan. Kalau kamu butuh pertolongan, aku akan membantu.”

Hening sesaat. Kami berdua masih saja menatap bintang. Hatiku tergerak untuk bercerita. Lagipula siapa lagi yang bisa membantuku selain dia?

“Dia, Mei,” aku mengucapkan kalimat itu lalu menghela napas. “Kamu tahu, kan? Anak itu. Yang selalu ada di dekatku. Yang selalu berusaha membuatku menyenanginya. Yang tidak bosan-bosan membuatku tertawa.”

Mei mengerutkan kening sejenak. Kemudian ia mengambil pasir di dekatnya dan menggenggamnya, lalu melemparkannya tanpa sebab. Begitu terus berulang-ulang. “Oh, ya. Aku ingat. Anak itu,” Mei mengangguk-angguk. “Dia kenapa?”

“Dia pergi,” jawabku dengan wajah suram.

Mei terkejut. Pasir yang ada di genggamnya lepas seketika. “Pergi? Maksudmu bagaimana?”

“Dia menjauh dariku. Dia tidak lagi tersenyum saat aku di dekatnya. Dia tidak lagi bicara banyak saat aku memanggilnya. Dia tidak lagi melontarkan candaan kocak yang membuatku terbahak,” jawabku. Aku mengingat-ingat wajahnya. Manis sekali. “Dia pergi tanpa sebab.”

Mei diam. Aku melanjutkan. “Dia, kan, yang selama ini mendekatiku? Padahal kamu tahu sendiri betapa aku membencinya dulu. Setelah semua yang dia lakukan padaku. Tetapi tiba-tiba dia datang dan membuat hariku berwarna. Dia mengajakku ke sana-kemari, melihat hal-hal yang tidak pernah kulihat, merasakan apa yang tidak pernah kurasakan, dan ....”

Aku meremas jemariku. “Akhirnya tanpa sadar, aku jatuh hati padanya. Aku menyayanginya. Aku rasa dia milikku. Aku pikir dia akan selalu ada di sisiku, sama seperti kamu yang selalu menemaniku. Aku sudah menganggapnya seperti... sahabat, mungkin.”

Aku mengambil kuciran dari kantongku lalu mengikat rambut panjangku. Aku menarik napas dalam-dalam. Mulai bercerita lagi. “Aku jadi bersemangat ke sekolah. Aku jadi tidak sabar setiap hari untuk mendengar kisah lucunya lagi. Aku selalu bahagia ketika bisa ada bersamanya. Aku benar-benar merasakan kalau aku dan dia punya ikatan kuat, dan walaupun kami tidak sebangku, ada saja cara untuk menyatukan kami.”

Mei mengangguk setuju. “Ya, aku tahu itu. Kamu dan dia tiba-tiba saja sekelompok kalau ada tugas, dan benar—ada saja cara untuk menyatukan kalian. Aneh.”

“Makanya aku percaya kalau Tuhan memang mengizinkan kami bersatu. Kamu pasti tau, Mei, kalau selama ini aku bahagia saat di sekolah karena ada dia. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku sangat gembira ketika melihat senyumnya. Apalagi waktu itu dia pernah menyanyikan satu lagu untukku,” ujarku sambil mengikuti kelakuan Mei: mengambil pasir lalu melemparkannya. Aku melanjutkan, “Lagu untukku, Mei. Dia mempersembahkannya untukku.”

“Sampai akhirnya, tiga hari lalu... dia menjauh,” kataku sedih. Aku memandang ke bawah. “Dia tidak lagi tersenyum saat aku ada di dekatnya. Dia tidak lagi banyak bicara. Dia jadi dingin. Dia hanya mau mengobrol dengan orang-orang tertentu. Tiba-tiba saja dia pergi begini. Sebenarnya, apa yang dia mau?!”

“Aku tidak mengerti. Kenapa dia pergi tepat ketika aku jatuh hati? Tepat ketika aku menjadikannya bagian penting dari hidupku?” tanyaku. Kecewa dan sedih bercampur jadi satu.

“Kamu tau? Ada saatnya di mana seseorang lelah dengan semuanya,” ucap Mei. Kali ini aku memandangnya. Aku tidak mengerti. Kuangkat alisku.

“Ada saat di mana orang yang sudah mencapai titik tertinggi dari tujuannya, dan dia pun lelah. Dia ingin melepaskannya. Dia merasa itu sudah tercapai, dan dia pun mencampakkannya begitu saja,” kata Mei. “Dan ‘mendekatimu’ adalah ambisinya. Secara tidak langsung, itulah keinginannya.”

“Dari awal, dia merasa kamu bukan siapa-siapanya. Dia tahu kalau kamu tidak menyenanginya. Karena itulah dia berusaha membuatmu menyukainya. Berusaha membuatmu jatuh hati padanya,” ujar Mei.

“Jadi dia hanya akting?” tanyaku.

“Tidak—bukan,” jawab Mei menepis dugaanku. “Itu terjadi secara alamiah. Akalnya menyuruh dia untuk membuatmu menjadikan dia sebagai duniamu. Dan, saat kamu sudah benar-benar menaruh hati padanya, dia baru sadar apa yang dia rasakan di awal. Dia sebenarnya tidak benar-benar menyukaimu.”

“Dia pun menghindarimu. Kemungkinan satu, dia bosan. Kemungkinan dua, dia capek. Kemungkinan tiga, ada sesuatu yang dia inginkan tidak terjadi. Kemungkinan empat, dia punya alasan sendiri...."

Aku tercenung. "Dia munafik, ya...."

"Belum tentu," bantah Mei. "Tapi bisa jadi lah. Entah, aku sendiri tidak mengerti."

"Nyaris saja aku menjadikannya sahabat," ucapku. Aku mendesah. Dia pergi tanpa sebab. Tanpa kata maaf. Tanpa pamitan. Tanpa alasan yang jelas.

Memangnya dia tak tahu kalau aku benar-benar kehilangan dia?

"Sudahlah," Mei menepuk bahuku. "Masih banyak orang yang peduli padamu di sini. Contohnya; aku."

Aku tertawa. Mei memang pandai membuatku bahagia. "Tapi, Mei... dia benar-benar berarti bagiku. Dia segalanya. Dia terlalu sulit untuk kulupakan. Namun, di sisi lain... aku benci dia. Aku benci dia."

"Kamu sebenarnya masih menyayanginya. Tapi dia pergi begitu saja, dan kecewa itulah yang membuatmu membencinya tiba-tiba," jelas Mei. "Dengar aku, ya. Kamu boleh saja bersedih atas ini. Tapi ingat; masih banyak orang yang peduli padamu. Dan jangan putus asa hanya karena dikhianati dia. Kalau dia memang menyayangimu juga, dia pasti akan kembali. Takdir sudah merencanakan semuanya. Jangan khawatir."

Aku mengusap mataku yang ternyata sembap. Oh, jadi aku menangis.... Menyesal rasanya aku pernah kenal dia. Tetapi Mei benar, aku tidak boleh bersedih terus-terusan.

"Mei, tapi... melupakan orang yang kita sayang itu, kan, sama saja kayak mengingat orang yang enggak pernah kita kenal," ucapku pelan. "Aku enggak bisa ngelupain dia."

"Kamu enggak perlu melupakan dia, kok. Kamu cuma harus menganggap kamu dan dia enggak ada apa-apa," kata Mei. "Itu susah, aku tahu. Setelah semua yang kamu lalui, kan? Itu memang sulit. Tapi ingat; kamu harus berusaha. Atau kamu bakal terus-terusan bersedih begini, kamu mau?"

Mei melanjutkan. "Aku di sini, Sayang... aku akan selalu ada buatmu. Tenang."

Aku memeluk Mei dengan erat. "Terima kasih, Mei."

Ya. Aku harus menganggap aku dan dia tidak ada apa-apa. Aku harus tetap menjadikan duniaku indah walaupun tanpa dia.
Aku harus berusaha...melupakannya.
Aku akan berusaha.
Ya, aku akan berusaha, walau itu sulit.

18 komentar:

  1. Tulisanmu bagus.. Aku suka, salam kenal ya..

    BalasHapus
  2. Eh, emang cerita kamu bener apa, Nin? Kayaknya dongeng yee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh gitu, yah I think it's your experience maybe whuahaha LOL *sorry

      Hapus
    2. Heh, kata siapa. Nggaklah. Maaf deh kalau ngerasa diledek. Nggak ada niat gituloh.

      Hapus
    3. Oke deh, I'm receiving your peace. I like your blog, because nearly every day you have the latest post hehe. But I can't your follower, so I'm checking your blog nearly every holiday... Jarang loh ada blog kayak kamu. The best blog!! Keep spirit on it, my friend.

      Hapus
    4. wahahaaa makasih yaaaa :") terharu :"D
      sekali lagi makasih yaaa. Eh, kamu punya blog nggak? :D

      Hapus
    5. Nggak sih, blum. Ntar deh kalau udah punya insyaAllah aku kasih tahu kamu yah. Namaku ada 2, tapi bagusnya pakai nama pertama yak haha *apaan coba.

      Hapus
    6. kok jadi bingung guenya... terserah sih. yumna oleh,erna juga boleh :D

      Hapus
  3. K-keren diksinya... o.o Kamu SMP kelas 1? Beneran? *minder*

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahahaa thx ya XD iya, saya masih kelas tujuh ._. anda sendiri kelas berapa emg? ._.V

      Hapus
  4. Bagus lho, kak. Agak-agak sedih :'(
    Aku juga pernah ngerasain, sediiih banget. Bahkan lebih dari ini. Jadi pas baca cerita ini, aku jadi mau nangis :D

    BalasHapus
  5. Cerpen nya keren dan bagus bnget ...
    Keadaanya sma persis yg aku alami
    Klau udah ada cerpen ini rasanya agak tenang deh, kan ada kalimat saran pula ... Thnks yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahaha makasih ya Putri :D
      Wuahaha sama-sama, senang bisa bantu kamu :)

      Hapus

Terima kasih bila sudah menyempatkan diri untuk berkomentar! 💕 :)

No captcha, no moderation, and no login here! Tinggal isi kolom komentar lalu publish, sesimpel itu! Bisa juga pakai anonim jika diperlukan (tho I don't recommend it) :).